:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5273508/original/028658000_1751628409-AP070429038626.jpg)
Liputan6.com, Jakarta Dirilis pada tahun 1992, “Killing In The Name” milik Rage Against the Machine (RATM) tidak hanya menjadi lagu ikonik di ranah musik rock alternatif, tetapi juga simbol perlawanan terhadap ketidakadilan sistemik, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan, rasisme, dan represi.
Makna lagu ini menyuarakan tudingan keras terhadap anggota kepolisian di Amerika Serikat yang diduga memiliki keterkaitan dengan kelompok supremasi kulit putih seperti Ku Klux Klan.
Hal itu tercermin dalam lirik “Some of those that work forces are the same that burn crosses.” Sebuah penggambaran sinis tentang bagaimana sistem kekuasaan bisa dicemari oleh pola pikir gelap dan terdistorsi.
Sebagai single pertama mereka, “Killing In The Name” langsung mencerminkan semangat dan misi utama Rage Against the Machine: memadukan musik cadas dengan pesan-pesan politik yang lantang.
Empat personelnya—Zack de la Rocha, Tom Morello, Tim Commerford, dan Brad Wilk—merupakan aktivis yang menyatukan semangat perlawanan lewat musik.
Momen Mulai Menarik Perhatian
… Selengkapnya
RATM mulai menarik perhatian setelah mendistribusikan kaset berisi 12 lagu demo, termasuk versi awal lagu ini.
Mereka kemudian menandatangani kontrak dengan label Epic karena ditawari kebebasan artistik penuh, yang dimanfaatkan dalam album debut Rage Against the Machine (1992), sebuah kompilasi lagu protes penuh amarah dan pernyataan sosial-politik tajam.
Konser-konser mereka dikenal intens dan penuh energi. Penampilan di festival Lollapalooza 1992 membantu mendorong penjualan album hingga menembus angka satu juta kopi pada 1994.
“F–k You, I Won’t Do What You Tell Me”
… Selengkapnya
Lagu ini dikenal karena struktur repetitifnya yang kuat, termasuk bagian klimaks ketika Zack de la Rocha berteriak “F–k you, I won’t do what you tell me” sebanyak 16 kali. Seruan ini menjadi semacam mantra perlawanan terhadap otoritas yang dianggap sewenang-wenang.
Lagu ini juga kerap memicu kontroversi. Dalam konser gratis RATM di Los Angeles tahun 2000 yang bertepatan dengan Konvensi Nasional Partai Demokrat, kerusuhan pecah setelah polisi membubarkan kerumunan secara paksa. RATM menutup konser tersebut dengan “Killing In The Name”, menambah ketegangan malam itu.
Hal serupa terjadi di Woodstock ‘99, saat mereka membakar bendera Amerika di panggung sebagai bagian dari penampilan lagu ini.
Kisah di Balik Proses Kreatif
… Selengkapnya
Riff ikonik dalam lagu ini lahir ketika Tom Morello sedang memberi pelajaran gitar menggunakan tuning drop-D. Ia merekam riff tersebut dalam kaset sebelum mengembangkan lagu bersama personel lainnya. Lagu ini awalnya instrumental dan digunakan sebagai pembuka dalam penampilan perdana mereka di kampus California State University, Northridge, pada 23 Oktober 1991.
Zack de la Rocha kemudian menambahkan lirik yang sarat kemarahan. Tom Morello menyebut kontribusi Tim Commerford (bass), Brad Wilk (drum), dan kekuatan lirik de la Rocha sebagai elemen kunci yang menyatukan lagu ini.
#1 Natal di Inggris: Sebuah Gerakan Musik
… Selengkapnya
Pada 2009, lagu ini kembali mencuat berkat kampanye Facebook untuk menjadikannya lagu Natal nomor satu di Inggris. Kampanye ini bertujuan menentang dominasi pemenang X-Factor yang selama empat tahun berturut-turut menguasai tangga lagu Natal.
Hasilnya, “Killing In The Name” berhasil mengalahkan lagu “The Climb” dari Joe McElderry dengan selisih 52.000 kopi—sebuah kemenangan simbolik atas kultur musik mainstream.
Tom Morello menyambut hangat gerakan tersebut dan menyumbangkan sebagian hasil penjualan lagu ke Youth Music UK dan Shelter, lembaga amal untuk tunawisma. Rage kemudian menggelar konser gratis bagi 40.000 penggemar di Finsbury Park, London, sebagai bentuk terima kasih.
Namun, penampilan mereka di BBC Radio 5Live yang dijanjikan tanpa kata-kata kasar justru mencuri perhatian. Zack tetap meneriakkan kalimat “F–k you, I won’t do what you tell me” beberapa kali sebelum akhirnya siaran diputus.
Jejak Budaya dan Warisan
… Selengkapnya
Lagu ini menempati posisi ke-24 dalam daftar “Greatest Guitar Songs” versi Rolling Stone tahun 2008. Selain muncul di berbagai media pop seperti Guitar Hero II dan GTA: San Andreas, lagu ini juga dikenal sebagai lagu penutup komedian Bill Hicks dalam setiap pertunjukannya—sesuatu yang Tom Morello sebut sebagai “sebuah kehormatan.”
Pada tahun 2022, stasiun radio pop Vancouver, KiSS Radio 104.9 FM, memutar “Killing In The Name” selama 10 jam berturut-turut setelah dua DJ-nya dipecat. Meski awalnya diduga sebagai aksi protes, ternyata itu hanya taktik promosi untuk peluncuran format baru stasiun tersebut.
Makna dan Relevansi yang Terus Hidup
Lebih dari sekadar lagu, “Killing In The Name” telah menjadi lambang perlawanan terhadap otoritas yang tidak sah dan penindasan sistemik. Tom Morello menyamakannya dengan pengalaman tokoh anti-perbudakan Frederick Douglass yang merasa benar-benar bebas bukan saat rantai dilepas, tetapi saat ia berani mengatakan “tidak” pada sang tuan.
“It relates to something in the Frederick Douglass autobiography,” ujar Morello. “He was freed not when he was released from physical bonds, but when Master said ‘yes’ and he said ‘no.’ That’s ‘F–k you I won’t do what you tell me.’”
Hingga saat ini, “Killing In The Name” tetap berdiri sebagai salah satu lagu paling berpengaruh dalam sejarah musik modern—lagu yang menolak tunduk, menolak kompromi, dan terus meneriakkan pesan perlawanan dari generasi ke generasi.