:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5274305/original/006627400_1751721492-WhatsApp_Image_2025-07-05_at_19.54.17.jpeg)
Liputan6.com, Jakarta Baru-baru ini, organisasi Perkumpulan Advocaten Indonesia (PAI) mengalami perpecahan yang signifikan, di mana Rayie Utami muncul sebagai pemimpin yang sah. Menurut Dr. Halim Darmawan, S.H., M.H., seorang ahli hukum tata negara, legalitas PAI di bawah kepemimpinan Rayie Utami telah diakui secara resmi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Hal ini menandakan bahwa kubu Rayie Utami memiliki dasar hukum yang kuat untuk melanjutkan operasional organisasi.
Perpecahan dalam PAI berawal dari pemberhentian Junaidi, S.Sy alias Sultan Junaidi, yang menjabat sebagai ketua umum PAI periode 2017-2022. Junaidi diberhentikan oleh Dewan Pendiri dan sejumlah anggota aktif karena dianggap tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Keputusan ini menimbulkan ketegangan di dalam organisasi, yang berujung pada dualisme kepemimpinan.
Dr. Halim menegaskan, “Ya itu sudah jelas punya Bu Rayie yang sah, sudah diakui oleh kementerian hukum, mau apa lagi?” Pernyataan ini menunjukkan bahwa semua tindakan yang diambil oleh kubu Rayie Utami telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Awal Mula Perpecahan PAI
… Selengkapnya
Perpecahan di PAI terjadi setelah Junaidi tidak melakukan pendaftaran ulang dan membiarkan SK AHU terblokir sejak tahun 2022. Hal ini menjadi salah satu alasan kuat bagi Dewan Pendiri untuk memberhentikannya. Junaidi juga dituduh melakukan pergantian kepengurusan secara sewenang-wenang, baik di tingkat pusat, wilayah, maupun kabupaten dan kota.
Akibat dari tindakan tersebut, banyak anggota PAI yang merasa dirugikan dan memutuskan untuk mendukung kubu Rayie Utami. Dengan dukungan ini, Rayie Utami berusaha untuk mengembalikan stabilitas organisasi dan memperjuangkan hak-hak anggota yang merasa terpinggirkan.
Dalam konteks ini, Dr. Halim menekankan pentingnya pengakuan terhadap keputusan pemerintah. Ia menyatakan bahwa anggota yang tidak mengakui legalitas PAI saat ini dapat dikenakan sanksi kode etik advokat, yang dapat mengakibatkan mereka tidak dapat bersidang di pengadilan.
Pernyataan Dr. Halim Darmawan
Dr. Halim menjelaskan bahwa penolakan terhadap keberadaan SK Kemenkum RI oleh kubu Junaidi adalah tindakan yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas. “Jika pihak kubu Junaidi menolak diberhentikan sebagai ketua umum dan digantikan oleh ketua umum baru, itu merupakan sikap dan alasan yang keliru,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa dalam akta pendirian suatu perkumpulan, terdapat poin yang menyatakan bahwa dewan pendiri memiliki hak untuk menunjuk ketua umum dan menyusun kepengurusan. Jika kepengurusan awal dianggap gagal, maka para pendiri dapat mengambil langkah untuk melakukan perubahan akta dan menyusun ulang kepengurusan.
“Ditambah lagi, jika munas atau kongres itu masih gagal, ya tidak perlu munas atau kongres lagi, para pendiri bisa mengambil langkah untuk melakukan perubahan akta dan membentuk atau menyusun ulang kepengurusan,” jelas Dr. Halim.
Implikasi Hukum bagi Anggota PAI
Dengan adanya pengakuan resmi dari Kementerian Hukum, anggota PAI di bawah kepemimpinan Rayie Utami kini memiliki posisi yang lebih kuat. Mereka dapat menjalankan aktivitas organisasi dengan legalitas yang jelas, serta menghindari risiko sanksi hukum yang mungkin timbul akibat ketidakpatuhan terhadap keputusan pemerintah.
Dr. Halim juga mengingatkan bahwa setiap anggota yang menolak untuk mengakui keputusan ini dapat menghadapi konsekuensi serius. “Ya jelas, jika anggota tidak mengakui dan menghormati keputusan pemerintah, itu merupakan bagian dari pelanggaran kode etik,” tegasnya.
Dengan demikian, situasi di PAI menunjukkan pentingnya kepatuhan terhadap hukum dan keputusan yang diambil oleh otoritas yang berwenang. Rayie Utami, dengan dukungan hukum yang kuat, siap untuk memimpin PAI menuju arah yang lebih baik.